benteng keraton "KERAJINAN KUNINGAN ( adat buton )"

Kerajinan Kuningan ini dapat ditemui didalam Kawasan Benteng Keraton Buton Yang Beralamat Di Kelurahan Melai, Lingkungan Peropa. Alamatnya skitar 20 Meter sebelah kanan saat masuk Pintu Gerbang Benteng Keraton Buton..Salah satu khasanah wisata tambahan anda ketika berkunjung ke Benteng Keraton Buton...Kerajinan Kuningan Yang Di Buat merupakan salah satu kelengkapan adat pakaian buton yang merupakan Warisan Kesultanan Buton dan tetap dipertahankan sampai sekarang

http://bentengkeratonbuton.blogspot.com/

readmore »»  

benteng keraton "Pingit (POSUO)"

POSUO
Tradisi Warisan Kesultanan Buton

Tradisi Upacara adat Posuo yang berkembang di Buton sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan mentalnya.

Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.

Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.

Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang mesti dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa. Pertama, sesi pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa senior (parika). Acara tersebut dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa (pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para peserta upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga bahwa selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat.
Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini dilaksanakan setelah upacara berjalan selama lima hari. Pada tahap ini para peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.

Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah bhosu (berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah, airnya dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh peserta didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya peresmian tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton).

Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh oleh para bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang sudah tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini masih perawan.

http://bentengkeratonbuton.blogspot.com/

readmore »»  

benteng keraton "kisah Peristiwa Yoputa i Gogoli i Liwuto"

Yoputa i Gogoli i Liwuto dalam Dimensi Demokrasi Global

Peristiwa Yoputa i Gogoli i Liwuto (Sultan Buton yang di hukum mati dengan cara dicekik dengan seutas tali) adalah suatu pembelajaran demokrasi yang belum tertandingi di jagat bumi hingga saat ini. Menurut sejarawan Said, ketika Sultan Mardhan Ali akan di eksekusi, syarah Kesultanan yang di wakli oleh Mojina Kalau bertanya kepada sang Legenda demokrasi Buton tersebut, “Apa pesan terakhir mu?”. Sang Legenda dengan tenang menjawab “Aku pasrah kepada Rabbku, satu pesan ku, perlakukanlah putra ku sebagaimana putra-putra Buton lainnya”. Dalam versi lain, Sang Legenda berdoa dan mengucapkan beberapa ayat dalam alqur,an yang di pandu langsung oleh Mojina Kalau setelah itu ia pun menghembuskan napas yang terakhir (masih perlu penelitian lebih jauh).

Dalam belahan dunia lain banyak pemimpin atau tokoh dipaksa berhenti di tengah masa pemerintahannya. Bahkan tidak jarang banyak yang mengalami nasib sama seperti; pemimpin Pakistan, Ali Bhuto. Namun semua hal tersebut meninggalkan luka di kedua belah pihak; baik pihak yang menurunkan dan pihak yang diturunkan saling berseteru satu sama lain untuk waktu yang cukup lama.

Dalam kejadian Yoputa i gogoli i Liwuto, tidak demikian, sejarah mencatat dalam peristiwa tersebut tak satu pun, pengikut bahkan keluarga dekat sang Sultan yang memrotes langkah dan tindakan syarah Kesultanan tersebut, apalagi menuntut balas. “Inilah pembelajaran demokrasi yang patut dicatat dalam sejarah peradaban manusia” ungkap Siradjuddin Djarudju, guru besar, pakar antropologi budaya, dalam suatu kesempatan. Demokrasi yang kita pelajari dan jalani saat ini hanyalah “DEKORASI”, sambung salah satu teman yang hadir dalam diskusi tersebut. Menurut KBI, demokrasi adalah “gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”.

La Cila bergelar Sultan Mardhan Ali menjadi Sultan Buton yang ke 8 (1647-1654). La Cila memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan hal itu sudah dibuktikannya. Ia pernah menjadi komdan pasukan Buton bersama sekutu Kesultanan Buton dalam menumpas perlawanan Kakiali di Ambon. Sebelum menjadi Sultan La Cila Atas`nama Sultan pernah menandatangani perjanjian Buton dengan VOC. Perjanjian itu mengukuhkan perjanjian sebelumnya yang telah ditandatangani oleh Sultan La Elangi yang dikenal sebagai janji taluanguna, perjanjian yang ketiga (Zahari, 1977).

Golongan yang semula meragukan kemampuan Ali, kemudian dapat menerimanya sebagai Sultan. Pengalaman Ali sebagai panglima perang tampaknya menjadi dasar pengakuan itu. Akan tetapi karakter Ali yang lain tidak mendukung dirinya sebagai citra raja yang adil. Ia dianggap melanggar adat dan agama. Pelan tapi pasti kedudukan Ali sudah tidak populer dikalangan para elite kerajaan.
Siang itu, dipenghujung tahun 1654, para elite kerajaan dan siolimbona nampak sibuk mondar-mandir tapi tak satu kata pun terucap dari bibir mereka. Mereka seakan tak punya kata-kata untuk menyuarakan tentang apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Tatapan tajam penuh makna dan guratan muka yang seolah menunjukan perpaduan antara amarah dan kasih yang berkecamuk menyelimuti wajah mereka.

Di sisi lain, masyarakat sedang menanti dengan perasaan penuh rasa keingin tahuan, tentang, apa gerangan yang akan terjadi? Awan mendung yang sejak pagi menggantung di kaki langit tak juga menunjukan pertanda akan segera turun hujan, namun hawa panas jelas teras sedang menyelimuti negeri keresian. Satu persatu para siolimbona dan para elite kerajaan berdatangan, setelah mereka terkumpul, mereka saling berbisik dengan suara yang tak terdengar tapi desah nafas mereka terdengar seperti gemuruh guntur di langit. yang saling bersahutan

Di tengah majelis nampak jelas terlihat kedua Bonto Ogena (sukanaeo dan Matanaeo) berbicara serius dengan Bontona Gampikaro. Sesekali Bontona Gampikaro berdiri menyapa beberapa pembesar lainnya, ia nampak terlihat paling sibuk di antara yang lainnya. Dari salah satu sudut majelis kedua tokoh kharismatik; Mojina Kalau (H. Sulaiman) dan Haji Pada (H. Abdullah) nampak berbicara serius dengan sesekali menatap jauh. Entah apa yang mereka tatap dan entah apa yang mereka bicarakan, juga belum terungkap. Matahari telah semakin menyingsing ke ufuk Barat pertanda shalat ashar akan segera tiba. Saat itulah ke tujuh siolimbana yang sejak tadi duduk agak terpisah dengan kedua tokoh (Mojina Kalau dan Haji Pada) nampak mendekat. Kini kesembilan tokoh (siolimbona) itu telah membentuk formasi (lingkaran), nampak mereka saling berkomat-kamit dan mengangguk-angguk satu sama lain. Mungkinkah mereka telah mendapatkan satu kesepakatan? Saat itupula beduk masjid berbunyi yang disusul oleh suara adzan yang sayup-sayup hampir tak terdengar. Mereka lalu bergegas menuju ke Masjid dengan langkah penuh rasa optimis. Hari itu, sepertinya, babak baru dalam sejarah demokrasi kemanusiaan akan segera terwujud.

Melihat para elite kesultanan tersebut saya sempat bertanya, di mana gerangan Sapati, kenepulu, dan kapitalao? Teman saya yang sedari tadi bersama ku menjelaskan bahwa “ini urusan legislatif dan agak yudikatif. Ketiga nama yang engkau cari adalah Eksekutif. Dari paparan teman, akhirnya saya mengerti, bahwa tidak elok rasanya ketiga tokoh yang saya cari untuk hadir dalam majelis tersebut. Jika mereka hadir akan memberi aroma subjektif dan bisa jadi dapat mengurangi independensi pengambilan keputusan, dan pada akhirnya dapat menimbulkan fitnah di kemudian hari.

Dalam Ajonga Nda Malusa, kitab yang di tulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin al Buthuni mencatat dan menggambarkan kesalahan Mardhan Ali sebagai berikut:
“Kaapaka aakili budimani, amaeya mpu beyaa leya bawana , siymbau mpuu aaleya miarangana, adikangina toiyagoi bawana, osiytumo taoyaka asasiya, osabara gau olempagi mosala”. (pembacalah yang lebih paham terjemahannya)

Akan halnya perbuatan Ali tersebut syarah kesultanan memutuskan hukuman mati (paragraf kedua dari atas). Kesultanan Buton, dengan demikian, telah kehilangan salah satu raja yang ideal. Untuk menggantikan posisi Mardhan Ali, Syarah Kesultanan menetapkan La Awu menjadi Sultan (Zuhdi, 2010).

Aristoteles pernah berucap “demokrasi akan betul-betul bermakna jika diikuti dan diperankan oleh mereka yang paham akan arti dan makna demokrasi yang sesungguhnya”. “A democrat is person who believes in the ideals of democracy, personal freedom, and equality. Peristiwa Demokrasi Kesultanan Buton yang begitu dahsyat tersebut telah empat abad berlalu (1654), namun dari catatan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh komponen masyarakat Kesultanan Buton ketika itu telah pandai dan memahami makna demokrasi yang sesungguhnya, sebagaimana ungkapan Aristoteles.

Bagaimana dengan kita yang hidup di erah demokrasi?
readmore »»  

benteng keraton "WILAYAH KESULTANAN BUTON"

WILAYAH KESULTANAN BUTON
A. Wilayah Kesultanan Buton terdiri atas tiga bagian:
1. Wilayah Wolio atau keraton yang menjadi pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh dihuni golongan kaomu dan walaka (bangsawan).
2. “Wilayah Kadie” (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki golongan penguasa dan dihuni golongan papara.
3. Kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “wilayah Barata”, yangmemiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk ke bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditaklukkan.
B. Ada empat wilayah kekuasaan Barata yang masing-masing dipimpin Lakina Barata dari golongan Kaomu,yaitu:
1. Barata Muna yang berpusat di Raha, di pesisir timur bagian tengah Pulau Muna;
2. Barata Tiworo yang berpusat di Tiworo;
3. Barata Kulingsusu yang berpusat di bagian timur pulau Buton;
4. Barata Kaledupa yang berpusat di Kaledupa .
Barata harus membela Kesultanan Buton melawan musuh-musuhnya.
Kekuasaan pusat dipegang golongan kaomu dan walaka yang berkedudukan di Keraton Buton di Bau-Bau. Mereka menjadi penguasa yang tertinggi untuk ketiga-tiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata).

readmore »»  

benteng keraton "istana benteng keraton buton"

Berada tidak jauh di luar kompleks keraton, terdapat istana Sultan Buton ke-38 yang kini menjadi museum atau Pusat Kebudayaan Wolio. Gagasan pendirian museum datang dari putra Sultan Buton ke-38 Drs. H. La Ode Manarfa Kaimuddin KK pada 1980. Saat ini Museum Kebudayaan Wolio dikelola oleh keluarga keturunan Sultan Buton ke-38. Koleksi museum terdiri atas benda-benda peninggalan dari Kesultanan Buton ke-38, berupa alat-alat upacara seperti tempolong, altar, vas bunga, senjata atau alat-alat peperangan seperti tombak, meriam, alat kesenian, alat rumah tangga, keramik, foto-foto dan lainnya.
Jika ingin mengetahui seluk-beluk Kesultanan Buton, menggunjungi Pusat Kebudayaan Wolio merupakan pilihan yang tepat. Tempat ini memang sengaja menjaga sejarah keslutanan Buton tidak hanya dalam bentuk benda-banda besejarah tapi juga kisah-kisah yang siap diungkapkan oleh keluarga yang menjaganya serta tak kalah penting nilai-nilai falsafah kehidupan orang Buton sendiri.
Cukup banyak falsafah hidup orang Buton yang sarat akan makna, diantaranya adalah Empat Aturan Dalam hidup bernegara dan berbangsa mereka memegang teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata somanamo karo artinya, korbankan harta demi keselamatan diri. Kemudian Inda inda mo karo somana mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian Inda inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang penting pemerintahan. Terakhir adalah Inda inda mo syara somanamu agama artinya biarlah pemerintahan hancur yang penting agama.
Falsafah perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan orang atau negara yang bersangkutan. Selain falsafah negara, Orang Buton mempunyai falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka, artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya tiap manusia harus saling menyayangi, Po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling menghargai dan Po pia piara artinya tiap manusia harus saling memelihara.

http://bentengkeratonbuton.blogspot.com/

http://bentengkeratonbuton.blogspot.com/

readmore »»  

asal usul Ir Soekarno Presiden RI 1

Ir Soekarno Presiden RI 1
Berdarah Asli Bangsawan Buton
Ini Fakta Atau Di Abaikan..

Dr. Ir. H. Koesno Sosro Soekarno, lahir dari Ibu yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai/Sitti Maryam dan Ayah Bung Karno adalah La Ode Muhammad Idris dari Kesultanan Buton, lahir di Buleleng Bali pada 06 Juni 1901. Walaupun fakta sejarah mencatat bila Ayah Bung Karno adalah Raden Sukemi. Bila dijabarkan siapa sebenarnya orangtua biologis Beliau maka didapat fakta sebagai berikut:
Dari pihak Bapak, Bung Karno adalah putra biologis dari La Ode Muhammad Idris/Yarona Imamu Yiambo(Mantan Imam Masjid Agung Keraton Kesulthanan Buton) sementara kakek Beliau adalah Sulthan Buthon XXXII Muhammad Umar Qaimuddin Khalifatul Khamis (Oputa Yi Bariyya, 1887-1904), sementara dari pihak ibu, Ida Ayu Nyoman Rai/ Sitti Maryam adalah putri dari La Jami/ I Nyoman Pasek, yang ternyata kakek dari pihak ibu diketahui masih ada darah Butonnya yaitu Bonto Ogena Yi Gundu-Gundu. Jadi jelas sudah bahwa Bung Karno PUTRA BUTON (Bangsawan Asli) yang juga mengalir darah biru Bangsawan Bali...
Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18
Apakah Hal Ini Yg Melatarbelakangi Rasa Ingin Tahu Ibu Megawati Soekarno Putri terhadap Sejarah Buton Sampai2 Salah Satu Tetua Keraton Buton Di Panggil Ke Kediamannya Beberapa Tahun Lalu
readmore »»  

benteng keraton "RITUAL ADAT DI BATU WOLIO/BATU YIGANDANGI PADA ZAMAN KESULTANAN BUTON"

RITUAL ADAT DI BATU WOLIO/BATU YIGANDANGI PADA ZAMAN KESULTANAN BUTON
Sumber Cucu Maama Dhini Kepala Distrik Tiworo & Juru Tulis Kesultanan Buton Di Era Sultan Buton (Sultan Falihi) Yang Saat Ini Berdiam Di Keraton Buton...
Diera Kesultanan Buton ketika Batu Wolio kering maka diadakan ritual adat agar Batu Wolio kembali berisi air...
Proses pertama, Beberapa orang yang dianggap memiliki kemampuan tasawuf tinggi dipanggil dalam proses ini...beberapa gendangpun ditempatkan disamping Batu Wolio..tahap berikut Batu Wolio ditutup dengan kain putih...setelah itu pada saat malam hari beberapa orang yang telah ditunjuk memiliki ilmu tasawuf tinggi berdoa mengelilingi Batu Wolio...ketika para bisa yg memiliki ilmu tasawuf itu dalam proses doa tadi yakin bahwasanya batu wolio telah berair maka proses doapun dihentikan..setelah itu batu yigandangi ditabuh gendang pada pagi harinya...setelah ditabuh gendang maka penutup batu woliopun dibuka...jika batu wolio telah berair maka proses doa dihentikan jika belum maka proses doa dilanjutkan dimalam berikut sampai berair kembali..Menurut sumber hal ini dilakukan utk menguji kemampuan doa para bisa2 kesultanan buton (yg memiliki tasawuf tinggi) sejauh mana doa mereka langsung di terima oleh Allah SWT sekaligus utk mengembalikan fungsi batu wolio agar berair kembali....Prosesi lain ketika menjelang pelantikan Sultan Buton di Batu woliopun ditabuhkan gendang...
Jika salah mohon diluruskan dan jika ada versi lain sekiranya mohon utk berbagi...thanks
http://bentengkeratonbuton.blogspot.com/

readmore »»