benteng keraton "kisah Peristiwa Yoputa i Gogoli i Liwuto"

Yoputa i Gogoli i Liwuto dalam Dimensi Demokrasi Global

Peristiwa Yoputa i Gogoli i Liwuto (Sultan Buton yang di hukum mati dengan cara dicekik dengan seutas tali) adalah suatu pembelajaran demokrasi yang belum tertandingi di jagat bumi hingga saat ini. Menurut sejarawan Said, ketika Sultan Mardhan Ali akan di eksekusi, syarah Kesultanan yang di wakli oleh Mojina Kalau bertanya kepada sang Legenda demokrasi Buton tersebut, “Apa pesan terakhir mu?”. Sang Legenda dengan tenang menjawab “Aku pasrah kepada Rabbku, satu pesan ku, perlakukanlah putra ku sebagaimana putra-putra Buton lainnya”. Dalam versi lain, Sang Legenda berdoa dan mengucapkan beberapa ayat dalam alqur,an yang di pandu langsung oleh Mojina Kalau setelah itu ia pun menghembuskan napas yang terakhir (masih perlu penelitian lebih jauh).

Dalam belahan dunia lain banyak pemimpin atau tokoh dipaksa berhenti di tengah masa pemerintahannya. Bahkan tidak jarang banyak yang mengalami nasib sama seperti; pemimpin Pakistan, Ali Bhuto. Namun semua hal tersebut meninggalkan luka di kedua belah pihak; baik pihak yang menurunkan dan pihak yang diturunkan saling berseteru satu sama lain untuk waktu yang cukup lama.

Dalam kejadian Yoputa i gogoli i Liwuto, tidak demikian, sejarah mencatat dalam peristiwa tersebut tak satu pun, pengikut bahkan keluarga dekat sang Sultan yang memrotes langkah dan tindakan syarah Kesultanan tersebut, apalagi menuntut balas. “Inilah pembelajaran demokrasi yang patut dicatat dalam sejarah peradaban manusia” ungkap Siradjuddin Djarudju, guru besar, pakar antropologi budaya, dalam suatu kesempatan. Demokrasi yang kita pelajari dan jalani saat ini hanyalah “DEKORASI”, sambung salah satu teman yang hadir dalam diskusi tersebut. Menurut KBI, demokrasi adalah “gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara”.

La Cila bergelar Sultan Mardhan Ali menjadi Sultan Buton yang ke 8 (1647-1654). La Cila memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan hal itu sudah dibuktikannya. Ia pernah menjadi komdan pasukan Buton bersama sekutu Kesultanan Buton dalam menumpas perlawanan Kakiali di Ambon. Sebelum menjadi Sultan La Cila Atas`nama Sultan pernah menandatangani perjanjian Buton dengan VOC. Perjanjian itu mengukuhkan perjanjian sebelumnya yang telah ditandatangani oleh Sultan La Elangi yang dikenal sebagai janji taluanguna, perjanjian yang ketiga (Zahari, 1977).

Golongan yang semula meragukan kemampuan Ali, kemudian dapat menerimanya sebagai Sultan. Pengalaman Ali sebagai panglima perang tampaknya menjadi dasar pengakuan itu. Akan tetapi karakter Ali yang lain tidak mendukung dirinya sebagai citra raja yang adil. Ia dianggap melanggar adat dan agama. Pelan tapi pasti kedudukan Ali sudah tidak populer dikalangan para elite kerajaan.
Siang itu, dipenghujung tahun 1654, para elite kerajaan dan siolimbona nampak sibuk mondar-mandir tapi tak satu kata pun terucap dari bibir mereka. Mereka seakan tak punya kata-kata untuk menyuarakan tentang apa yang ada dalam benak mereka masing-masing. Tatapan tajam penuh makna dan guratan muka yang seolah menunjukan perpaduan antara amarah dan kasih yang berkecamuk menyelimuti wajah mereka.

Di sisi lain, masyarakat sedang menanti dengan perasaan penuh rasa keingin tahuan, tentang, apa gerangan yang akan terjadi? Awan mendung yang sejak pagi menggantung di kaki langit tak juga menunjukan pertanda akan segera turun hujan, namun hawa panas jelas teras sedang menyelimuti negeri keresian. Satu persatu para siolimbona dan para elite kerajaan berdatangan, setelah mereka terkumpul, mereka saling berbisik dengan suara yang tak terdengar tapi desah nafas mereka terdengar seperti gemuruh guntur di langit. yang saling bersahutan

Di tengah majelis nampak jelas terlihat kedua Bonto Ogena (sukanaeo dan Matanaeo) berbicara serius dengan Bontona Gampikaro. Sesekali Bontona Gampikaro berdiri menyapa beberapa pembesar lainnya, ia nampak terlihat paling sibuk di antara yang lainnya. Dari salah satu sudut majelis kedua tokoh kharismatik; Mojina Kalau (H. Sulaiman) dan Haji Pada (H. Abdullah) nampak berbicara serius dengan sesekali menatap jauh. Entah apa yang mereka tatap dan entah apa yang mereka bicarakan, juga belum terungkap. Matahari telah semakin menyingsing ke ufuk Barat pertanda shalat ashar akan segera tiba. Saat itulah ke tujuh siolimbana yang sejak tadi duduk agak terpisah dengan kedua tokoh (Mojina Kalau dan Haji Pada) nampak mendekat. Kini kesembilan tokoh (siolimbona) itu telah membentuk formasi (lingkaran), nampak mereka saling berkomat-kamit dan mengangguk-angguk satu sama lain. Mungkinkah mereka telah mendapatkan satu kesepakatan? Saat itupula beduk masjid berbunyi yang disusul oleh suara adzan yang sayup-sayup hampir tak terdengar. Mereka lalu bergegas menuju ke Masjid dengan langkah penuh rasa optimis. Hari itu, sepertinya, babak baru dalam sejarah demokrasi kemanusiaan akan segera terwujud.

Melihat para elite kesultanan tersebut saya sempat bertanya, di mana gerangan Sapati, kenepulu, dan kapitalao? Teman saya yang sedari tadi bersama ku menjelaskan bahwa “ini urusan legislatif dan agak yudikatif. Ketiga nama yang engkau cari adalah Eksekutif. Dari paparan teman, akhirnya saya mengerti, bahwa tidak elok rasanya ketiga tokoh yang saya cari untuk hadir dalam majelis tersebut. Jika mereka hadir akan memberi aroma subjektif dan bisa jadi dapat mengurangi independensi pengambilan keputusan, dan pada akhirnya dapat menimbulkan fitnah di kemudian hari.

Dalam Ajonga Nda Malusa, kitab yang di tulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin al Buthuni mencatat dan menggambarkan kesalahan Mardhan Ali sebagai berikut:
“Kaapaka aakili budimani, amaeya mpu beyaa leya bawana , siymbau mpuu aaleya miarangana, adikangina toiyagoi bawana, osiytumo taoyaka asasiya, osabara gau olempagi mosala”. (pembacalah yang lebih paham terjemahannya)

Akan halnya perbuatan Ali tersebut syarah kesultanan memutuskan hukuman mati (paragraf kedua dari atas). Kesultanan Buton, dengan demikian, telah kehilangan salah satu raja yang ideal. Untuk menggantikan posisi Mardhan Ali, Syarah Kesultanan menetapkan La Awu menjadi Sultan (Zuhdi, 2010).

Aristoteles pernah berucap “demokrasi akan betul-betul bermakna jika diikuti dan diperankan oleh mereka yang paham akan arti dan makna demokrasi yang sesungguhnya”. “A democrat is person who believes in the ideals of democracy, personal freedom, and equality. Peristiwa Demokrasi Kesultanan Buton yang begitu dahsyat tersebut telah empat abad berlalu (1654), namun dari catatan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh komponen masyarakat Kesultanan Buton ketika itu telah pandai dan memahami makna demokrasi yang sesungguhnya, sebagaimana ungkapan Aristoteles.

Bagaimana dengan kita yang hidup di erah demokrasi?